Rasa Iri dalam Pertemanan: Normal atau Tanda Hubungan Tidak Sehat?

3 days ago 16

Fimela.com, Jakarta Dalam hubungan pertemanan, rasa iri sering dicap sebagai emosi buruk yang menunjukkan hati kotor atau ketidakmampuan bersyukur. Nyatanya, iri adalah bagian dari respons manusia ketika melihat orang lain memiliki sesuatu yang kita inginkan, pekerjaan, pasangan, prestasi akademik, atau bahkan hal-hal kecil seperti gadget baru. Kedekatan justru sering membuat kita lebih mudah merasa iri karena hidup teman ada dalam jarak pandang kita setiap hari. Yang penting bukan “apakah iri muncul”, tetapi “apa yang kita lakukan setelah iri itu muncul”.

Bahkan dalam pertemanan yang sangat dekat sekalipun, rasa iri bisa muncul tanpa disengaja. Kita bisa ikut bahagia untuk teman, tetapi dalam waktu yang sama merasa sedih karena diri sendiri belum berada di titik yang sama. Dualitas perasaan seperti ini sangat manusiawi, dan tidak berarti kita adalah teman yang buruk. Emosi manusia jarang datang dalam satu warna, sering kali bahagia dan iri berjalan bersama.

Selain itu, rasa iri juga sering dipicu oleh perbandingan sosial yang tidak sepenuhnya bisa kita kontrol. Media sosial membuat hidup teman terlihat “lebih baik” dari yang sebenarnya: highlight pencapaian tanpa memperlihatkan proses jatuh bangunnya. Akhirnya, kita merasa tertinggal bukan karena fakta objektif, tetapi karena ilusi yang kita lihat berkali-kali setiap hari. Inilah mengapa iri dalam pertemanan bukan hanya persoalan karakter, tetapi juga konteks zaman.

Kapan Iri Masih Disebut Normal?

Rasa iri bisa menjadi sinyal internal bahwa kita punya keinginan atau target yang belum tercapai. Misalnya, ketika melihat teman berhasil menyelesaikan proyek besar, rasa iri dapat memotivasi kita untuk belajar lebih giat atau meningkatkan kemampuan diri. Iri yang sehat mendorong refleksi diri: “Apa yang bisa aku lakukan untuk mencapai hal yang sama?” atau “Bagaimana aku bisa berkembang tanpa harus menurunkan pencapaian teman?”

Dalam konteks Gen Z, iri normal juga muncul dari media sosial. Saat teman posting foto traveling ke tempat hits atau unggahan lifestyle yang terlihat “sempurna”, wajar jika kita merasa sedikit iri. Yang membedakan rasa iri normal dan berbahaya adalah apakah perasaan itu membuat kita termotivasi atau malah memicu perasaan tidak puas.

Selama rasa iri tidak menimbulkan kebencian, tidak ingin menjatuhkan teman, dan tidak mengubah cara kita memperlakukan mereka, maka perasaan ini masih tergolong normal. Bahkan, iri bisa menjadi alat introspeksi yang positif untuk mendorong pertumbuhan diri. Mengenali perasaan ini sejak awal adalah kunci agar tidak merusak hubungan.

Saat Iri Berubah Jadi Tanda Hubungan Tidak Sehat

Masalah muncul ketika rasa iri mulai menimbulkan perilaku negatif terhadap teman. Misalnya, memberi komentar sinis saat teman merayakan keberhasilan, sengaja menjauh ketika mereka bahagia, atau mencoba menyaingi setiap pencapaian mereka. Hubungan yang seharusnya suportif bisa berubah menjadi kompetitif, di mana kebahagiaan teman terasa mengancam dan tidak lagi menyenangkan.

Di dunia Gen Z, hal ini sering terlihat saat teman memposting kabar baik di media sosial dan kita merasa cemas atau kesal bukannya senang. Misalnya, teman membeli barang branded atau mendapat undangan eksklusif, lalu kita membandingkan diri dan merasa “kurang” sehingga muncul komentar atau sikap halus yang menyudutkan.

Iri jenis ini menandakan hubungan tidak sehat karena mengubah dinamika persahabatan. Alih-alih saling mendukung, fokus beralih ke perbandingan dan persaingan diam-diam. Lama-lama, kebahagiaan teman terasa mengganggu dan pertemanan kehilangan kenyamanan awal.

Dampak Jangka Panjang Iri yang Tak Diakui

Jika dibiarkan, rasa iri dapat merusak hubungan pertemanan perlahan tapi pasti. Orang yang menjadi target iri mungkin merasa tidak lagi aman untuk berbagi kebahagiaan. Mereka bisa berhenti posting momen penting atau menjaga jarak untuk menghindari konflik halus.

Sementara itu, pihak yang terus merasa iri bisa terjebak dalam rasa tidak cukup, membandingkan diri secara terus-menerus, dan sulit menikmati pencapaian orang lain. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan stres, cemas berlebihan, dan menurunnya rasa percaya diri. Bahkan, pertemanan yang awalnya erat bisa memudar, padahal tidak ada konflik besar, hanya tumpukan emosi negatif yang tidak pernah diolah.

Belajar Mengelola Iri tanpa Merusak Hubungan

Daripada menyangkal perasaan iri, lebih sehat mengakuinya dan menelusuri sumbernya. Tanyakan pada diri sendiri: “Apakah aku iri karena merasa tertinggal, atau karena standar hidupku terlalu tinggi?” Mengelola rasa iri bisa dilakukan dengan membatasi perbandingan, fokus pada pencapaian pribadi, atau mengambil jarak sementara ketika emosi memuncak.

Di dunia Gen Z, tips tambahan termasuk membatasi scrolling media sosial, mengikuti akun yang memberi inspirasi, bukan kompetisi, dan belajar bersyukur dengan pencapaian sendiri. Komunikasi juga penting; berbagi perasaan dengan teman yang dipercaya dapat memberi perspektif baru dan meringankan ketegangan. Dengan cara ini, rasa iri tidak menjadi racun, tetapi sarana introspeksi dan motivasi untuk berkembang. Pertemanan tetap hangat dan sehat jika emosi dikelola dengan dewasa.

Iri adalah bagian normal dari pengalaman manusia dalam pertemanan. Yang membedakan hubungan sehat dan tidak sehat adalah bagaimana emosi ini direspons. Jika dikelola dengan baik, rasa iri bisa menjadi alarm untuk mengevaluasi diri, memotivasi, dan menata ulang ekspektasi.

Namun, jika diabaikan, iri bisa menjadi penyebab hubungan retak dan persahabatan yang hilang. Pertanyaan utama bukan “bolehkah aku iri?”, tetapi “apakah aku cukup dewasa untuk tidak membiarkan iri menghancurkan hubungan berharga?” Dengan kesadaran dan pengelolaan yang tepat, pertemanan tetap hangat, suportif, dan tumbuh bersama meski diselingi emosi manusiawi seperti iri.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Anisya Fandini
  • Ayu Puji Lestari
Read Entire Article
Relationship |