
Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)
Tradisi Appaddekko masih dipertahankan oleh masyarakat petani di Kabupaten Takalar. Tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen padi yang melimpah. Appaddekko berasal dari kegiatan menumbuk padi secara bersama-sama menggunakan alu dan lesung, yang dilakukan setelah masa panen selesai.
Pada masa lalu, sebelum hadirnya mesin penggiling padi, masyarakat menumbuk padi dengan alat tradisional. Bunyi ketukan alu ke lesung menghasilkan irama yang teratur. Dari kebiasaan itu, kemudian lahir sebuah kegiatan yang disebut Appaddekko. Seiring waktu, kegiatan ini berkembang menjadi upacara adat dan seni pertunjukan yang rutin dilaksanakan setiap tahun.
Ritual Appaddekko biasanya dilakukan pada musim kemarau, sekitar bulan Mei. Sebelum acara dimulai, masyarakat terlebih dahulu mengadakan doa bersama atau assuro maca yang dipimpin oleh anrong guru, pemuka adat setempat. Doa ini dimaksudkan agar kegiatan berjalan lancar dan masyarakat dijauhkan dari bencana. Setelah doa, beberapa perempuan dewasa menumbuk padi secara bergantian sambil diiringi tabuhan gendang dan tiupan seruling tradisional atau pui-pui. Para laki-laki turut berperan sebagai penabuh dan pengiring acara.
Selain sebagai bentuk syukur, Appaddekko juga memiliki latar cerita yang dipercaya oleh masyarakat setempat. Berdasarkan cerita turun-temurun, pernah terdengar suara tumbukan alu dan lesung tanpa ada orang yang melakukannya. Warga meyakini suara tersebut berasal dari makhluk halus berupa gadis cantik yang turun dari kayangan untuk menumbuk padi. Cerita lain menyebutkan adanya sosok misterius yang datang meminjam kain (pattapiang) kepada petani. Setelah kain dikembalikan, padi yang sedang ditumbuk berubah menjadi dedak. Peristiwa ini dianggap sebagai peringatan agar masyarakat selalu bersyukur atas hasil panen dan tidak sombong terhadap keberhasilan.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: