Standar Nafkah Anak dan Istri saat Bercerai: Menimbang Keadilan dalam Perpisahan

1 week ago 16

Fimela.com, Jakarta Perceraian adalah persimpangan yang tak pernah mudah. Sebuah perceraian bisa memutus ikatan lahir batin antara suami dan istri, tapi tetap meninggalkan suatu jejak kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Terutama, kewajiban seorang ayah dan mantan suami untuk memastikan kehidupan anak dan mantan istri tetap terjamin.

Banyak orang berpikir perceraian adalah titik akhir. Padahal, di balik sidang pengadilan dan putusan hukum, ada urusan yang jauh lebih mendasar: nafkah. Tidak ada standar angka yang berlaku untuk semua orang, sebab setiap keluarga punya kondisi berbeda. Walaupun begitu, hukum telah memberi rambu-rambu agar semua pihak mendapatkan haknya.

Cara Mengajukan Hak Nafkah dengan Benar

Tidak semua orang memahami bahwa tuntutan nafkah harus diajukan sejak awal proses perceraian.

Pada cerai gugat, istri wajib mencantumkan hak-hak yang diminta dalam surat gugatan, lengkap dengan bukti mengenai penghasilan suami. Sedangkan pada cerai talak, istri dapat mengajukan tuntutan balik pada saat agenda jawaban persidangan.

Langkah ini penting. Hakim tidak akan serta-merta menetapkan besaran nafkah tanpa ada permintaan atau bukti yang jelas. Pengadilan bekerja dengan data, bukan sekadar asumsi. Itu sebabnya, proses awal menentukan seberapa kuat posisi seorang istri dan anak dalam mendapatkan hak mereka.

Pada tahap ini, kejujuran dan kelengkapan data sangat berpengaruh. Semakin detail bukti yang diajukan, semakin besar peluang hakim menetapkan nafkah yang adil.

Memahami Ragam Nafkah Pasca Perceraian

Nafkah bukan hanya uang bulanan. Hukum Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam membaginya ke dalam beberapa bentuk.

Pertama, ada nafkah mut’ah, yakni pemberian dari mantan suami sebagai penghormatan setelah talak, bisa berupa uang atau barang.

Kedua, nafkah iddah, yang wajib diberikan selama mantan istri menjalani masa iddah, kecuali dalam kondisi tertentu seperti talak ba’in atau nusyuz.

Ketiga, mahar yang terhutang, yang tetap menjadi hak istri meskipun perkawinan sudah berakhir.

Keempat, nafkah madyah, yaitu nafkah yang pernah dilalaikan suami selama masih terikat perkawinan.

Terakhir, nafkah hadhanah, yaitu biaya pemeliharaan anak sampai ia dewasa.

Dengan memahami jenis-jenis nafkah ini, kita bisa melihat bahwa hukum tidak sekadar bicara uang, melainkan juga penghargaan terhadap martabat perempuan dan kepentingan terbaik anak.

Hak Istri: Lebih dari Sekadar Finansial

Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa pengadilan dapat mewajibkan bekas suami memberikan biaya penghidupan atau kewajiban tertentu bagi bekas istri.

Sementara itu, Pasal 149 KHI mempertegas kewajiban suami yang bercerai dengan talak untuk memberi mut’ah, nafkah iddah, melunasi mahar, serta biaya pemeliharaan anak.

Di balik teks hukum itu ada pesan moral yang kuat. Perempuan yang sudah memberikan cinta, tenaga, bahkan mungkin melahirkan keturunan, tidak boleh ditinggalkan begitu saja.

Mut’ah dan nafkah iddah bukan sekadar formalitas, melainkan simbol penghargaan terhadap perjalanan rumah tangga yang pernah ada.

Maka, standar nafkah istri pasca cerai bukan hanya persoalan rupiah, tapi juga soal keadilan dan penghormatan.

Hak Anak: Kepentingan Terbaik yang Didahulukan

Hukum menegaskan bahwa baik ayah maupun ibu tetap berkewajiban memelihara anak-anaknya, dengan kepentingan anak sebagai prioritas utama.

Ayah tetap memikul tanggung jawab biaya pemeliharaan dan pendidikan anak hingga usia 21 tahun. Jika ayah benar-benar tidak mampu, barulah pengadilan dapat menentukan agar ibu ikut menanggungnya.

Dalam KHI Pasal 105 disebutkan, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berusia 12 tahun) ada pada ibu, sedangkan anak yang sudah bisa memilih, berhak menentukan akan tinggal dengan siapa. Tetapi siapa pun yang memegang hak asuh, tanggung jawab finansial tetap berada pada ayah.

Dalam hal ini, hukum berusaha memastikan anak tidak menjadi korban perceraian. Hak anak atas pemeliharaan tidak boleh dikompromikan.

Mengapa Tidak Ada Angka Baku Nafkah?

Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa tidak ada tabel resmi yang menentukan nafkah pasca cerai? Jawabannya sederhana: kondisi tiap keluarga berbeda. Kebutuhan anak, penghasilan suami, dan standar hidup selama perkawinan menjadi pertimbangan hakim.

Misalnya, anak yang sekolah di kota besar tentu membutuhkan biaya lebih besar dibanding anak yang tinggal di daerah dengan biaya hidup rendah.

Demikian pula, suami dengan penghasilan tinggi tentu diwajibkan memberi lebih dibanding suami dengan penghasilan pas-pasan.

Hakim berperan menyeimbangkan antara kemampuan mantan suami dan kebutuhan wajar anak serta mantan istri. Dengan begitu, keadilan bisa hadir secara proporsional.

Dalam praktiknya, hakim bisa menetapkan nafkah dalam bentuk pembayaran bulanan atau sekaligus (lump sum).

Ada kasus di mana mantan suami diwajibkan memberi sejumlah uang setiap bulan, ada pula yang memutuskan pembayaran sekaligus dalam jumlah tertentu.

Hakim juga mempertimbangkan bukti penghasilan, gaya hidup keluarga sebelumnya, serta kebutuhan dasar anak dan istri. Proses ini menuntut keterbukaan dari kedua belah pihak. Semakin transparan data yang diberikan, semakin adil keputusan yang akan keluar.

Peran hakim ibarat jembatan yang memastikan bahwa perpisahan tidak meninggalkan ketidakadilan.

Menjaga Martabat dalam Perpisahan

Perceraian memang memisahkan jalan hidup dua orang, tetapi tidak boleh memutus tanggung jawab. Hukum memberi ruang agar perempuan tetap dihormati dan anak tetap dijaga hak-haknya. Nafkah pasca perceraian bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan juga cermin kematangan moral.

Memahami standar nafkah ini memberi kita kesadaran bahwa keadilan bisa hadir bahkan di tengah perpisahan. Karena sejatinya, perpisahan yang beradab adalah yang tetap menjaga martabat semua pihak, terutama anak-anak yang menjadi penerus kehidupan.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Relationship |