
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara sekaligus pegiat media sosial, Nazlira Alhabsy, menyinggung dinamika politik di balik isu pergantian Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
ia menyebut, secara hukum tata negara, proses pengangkatan maupun pergantian Kapolri seharusnya tidak rumit. Namun, menurutnya, praktik di lapangan kini jauh berbeda.
“Secara hukum tata negara, pengangkatan Kapolri memang merupakan hak prerogatif Presiden yang sederhana saja proses pelaksanaannya,” ujar Nazlira di X @Naz_lira (19/10/2025).
Ia menjelaskan bahwa mekanismenya sudah baku: Presiden memilih satu calon dari internal Polri, mengajukan nama tersebut ke DPR untuk disetujui, lalu melantiknya.
“Setidaknya begitulah yang terjadi dulu, di era Tukang Kayu menjadi Presiden ketika mengganti Kapolri Jenderal Idham Azis dengan Jenderal Listyo Sigit Prabowo,” sebutnya.
Namun, di era Presiden Prabowo Subianto, yang berlatar belakang militer, Nazlira menilai proses itu justru menjadi ruwet.
"Namun di era Presiden mantan Jenderal Kopassus, praktiknya malah menjadi ruwet, rumit dan kusut,” ucapnya.
Ia menilai bahwa hak prerogatif Presiden kini telah berubah menjadi arena negosiasi politik yang sarat tarik-menarik kepentingan.
"Proses yang seharusnya sederhana itu bergeser dari sekadar pelaksanaan hak menjadi sebuah arena negosiasi politik yang kompleks,” tegasnya.
Dikatakan Nazlira, kekuatan politik yang berpengaruh pada lingkar kekuasaan menjadi faktor penghambat utama.
“Hak Prerogatif Presiden dihiasi dengan tarik-menarik kepentingan pejabat pro rezim Jokowi alias termul, oligarki pemilik Boneka Solo, serta kendaraan tunggang partai politik di belakangnya agar Kapolri petahana tidak diganggu atau tidak mengganggu kepentingan politik mereka,” jelasnya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: