
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang disodorkan Forum Purnawirawan TNI kian menggeliat setelah para pensiunan jenderal itu bersurat ke DPR/MPR.
Keterpilihan Gibran dianggap sebagai buah dari konsensus politik yang dipaksakan. Begitu pula dengan proses pencalonannya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Proses pencalonannya bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan elektoral. Oleh karenanya, Gibran, menurut mereka, harus diberhentikan.
Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona menjelaskan, setiap proses pemakzulan harus berjalan berdasarkan ketentuan konstitusional dan bukan semata-mata didorong oleh opini atau tekanan politik.
Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara dorongan politik simbolik dan mekanisme hukum yang sungguh-sungguh dapat ditempuh.
"Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran,” terang Yance Arizona dalam keterangannya, dilansir pada Selasa (10/6/2025).
Yance menjelaskan bahwa MPR bukanlah lembaga yang memulai proses pemakzulan, melainkan institusi yang menjalankan keputusan akhir setelah tahapan-tahapan sebelumnya dilalui.
Menurutnya, pintu masuk proses pemakzulan terletak di DPR bukan MPR. DPR dapat menggunakan hak angket atau langsung mengajukan hak menyatakan pendapat jika terdapat dugaan bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 7A. Proses ini melibatkan berbagai lembaga negara dan menuntut adanya kehati-hatian dalam setiap tahapannya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: