
Oleh: Andi Marlina Masdjidi
(Analisis Anggaran - Politeknik STIA LAN Makassar)
Beberapa hari terakhir, jagat maya diramaikan oleh potongan video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dikaitkan dengan pernyataan bahwa guru adalah beban negara. Potongan itu langsung menyulut emosi publik, khususnya kalangan pendidik dan masyarakat yang peduli pada pendidikan.
Namun setelah ditelusuri, klaim tersebut ternyata tidak benar alias hoaks. Sri Mulyani sama sekali tidak pernah menyebut guru sebagai beban negara. Yang disampaikannya hanyalah fakta bahwa belanja pegawai termasuk gaji guru dan aparatur sipil negara merupakan salah satu komponen terbesar dalam APBN. Itu wajar, karena memang menjadi kewajiban negara untuk membayar gaji dan memberikan tunjangan bagi pegawainya.
Mengubah Perspektif: Dari Beban menjadi Investasi
Dalam istilah keuangan negara, beban bukanlah hinaan, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi. Pendidikan adalah amanat konstitusi, dengan minimal 20 persen APBN dialokasikan setiap tahun. Karena itu, menyebut guru sebagai beban negara justru bermakna bahwa negara wajib menanggungnya, memberikan gaji layak, fasilitas yang pantas, peningkatan kompetensi, hingga perlindungan hukum saat guru menghadapi tekanan.
Artinya, beban itu adalah janji negara untuk memanusiakan profesi guru. Dan alih-alih terjebak pada narasi negatif, kita seharusnya melihatnya sebagai investasi jangka panjang.
Guru sebagai Investasi Bangsa
Gaji guru bukan sekadar pos belanja, melainkan investasi strategis. Sebagai seseorang yang peduli pada kualitas pendidikan, saya menyaksikan bahwa guru yang sejahtera mampu melahirkan generasi berpendidikan, produktif, dan berdaya saing global. Karena itu, para pendidik membutuhkan kepastian, bukan keterlambatan pencairan hak mereka.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: