Fimela.com, Jakarta Fenomena “Tepuk Sakinah” sempat ramai di media sosial, bukan hanya karena nadanya yang lucu, tapi karena pesan tersiratnya yang kuat. Di balik tepuk tangan itu, tersimpan keresahan nyata: banyak anak muda kini merasa menikah bukan lagi keharusan, melainkan pilihan yang harus matang secara emosional dan finansial. Mereka ingin kehidupan yang stabil, setara, dan membahagiakan, bukan sekadar memenuhi tuntutan sosial.
Sahabat Fimela, tren ini menunjukkan pergeseran besar dalam cara generasi muda memandang pernikahan. Bagi banyak orang, menikah tanpa kesiapan justru terasa lebih menakutkan daripada menunda. Pernikahan bukan lagi tujuan akhir, tetapi perjalanan panjang yang perlu dasar kuat: ekonomi yang aman, komunikasi yang sehat, dan kepercayaan satu sama lain.
Fenomena ini juga menjadi refleksi sosial yang menarik. Meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, beban ekonomi yang berat, dan harapan akan kesetaraan membuat banyak orang ingin membangun hubungan yang realistis. “Tepuk Sakinah” menjadi suatu cara untuk menyuarakan kegelisahan yang sebenarnya dalam: keinginan untuk mencintai tanpa kehilangan kendali atas hidup sendiri.
Dunia Menghadapi Krisis Cinta yang Serius
Menurunnya minat menikah tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara maju, fenomena ini bahkan memicu krisis demografi.
Jepang, misalnya, meluncurkan aplikasi kencan resmi buatan pemerintah bernama Tokyo Futari Story yang dirancang untuk membantu warganya menemukan pasangan hidup. Aplikasi ini mewajibkan verifikasi identitas dan status lajang, menunjukkan betapa seriusnya negara itu berupaya menjaga angka pernikahan dan kelahiran.
Korea Selatan juga menghadapi situasi serupa. Pemerintahnya mengadakan acara speed dating nasional serta memberikan insentif hingga 20 juta won untuk pasangan yang menikah setelah ikut program tersebut. Meski terkesan menarik, banyak pengamat menilai bahwa bantuan dana saja belum cukup mengatasi akar masalah, seperti biaya hidup tinggi dan tekanan kerja yang ekstrem.
Sementara itu, di Tiongkok, beberapa pemerintah daerah menawarkan bonus bagi pasangan yang menikah muda demi menahan laju penurunan populasi. Negara bahkan mulai masuk ke ranah pribadi warganya, karena menyadari bahwa masa depan ekonomi dan sosial sangat bergantung pada keberlanjutan keluarga. Semua langkah ini memperlihatkan satu hal: cinta kini tidak hanya urusan hati, tetapi juga kebijakan negara.
Kesiapan dalam Pernikahan
Indonesia juga mengalami penurunan angka pernikahan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data BPS, jumlah pernikahan turun dari lebih dari dua juta pada 2013 menjadi sekitar 1,5 juta pada 2023. Alih-alih hanya mengejar angka, pemerintah memilih pendekatan yang lebih menyentuh aspek kesiapan dan kualitas.
Melalui program Bimbingan Perkawinan, calon pengantin diajak memahami pentingnya komunikasi, kesiapan emosional, dan pengelolaan ekonomi rumah tangga.
Lalu ada Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, yang menekankan pentingnya usia dan kematangan sebelum menikah. Program GAS Nikah (Gerakan Sadar Pencatatan Nikah) pun hadir untuk memastikan setiap pernikahan tercatat secara resmi agar hak-hak pasangan terlindungi.
Sahabat Fimela, langkah-langkah ini menunjukkan bahwa sudah ada kesadaran bahwa pernikahan bukan sekadar ritual sosial, tapi pondasi kehidupan yang harus kuat. Kualitas hubungan dan kesiapan pasangan menjadi fokus utama agar keluarga baru tidak hanya terbentuk, tapi juga bertahan dengan bahagia dan sehat.
Menuju Masa Depan yang Lebih Realistis dan Seimbang
Generasi muda Indonesia kini menuntut pendekatan yang lebih realistis. Mereka ingin menikah tanpa harus mengorbankan stabilitas hidup. Karena itu, jika negara ingin mendorong lebih banyak orang menikah, kebijakannya harus lebih menyentuh kebutuhan nyata: akses rumah terjangkau, pekerjaan yang layak, dan kebijakan kerja yang mendukung keseimbangan hidup.
Cinta tidak bisa tumbuh di bawah tekanan. Banyak pasangan muda ingin berumah tangga dengan cara yang sederhana namun bermakna, yang saling mendukung, punya arah hidup jelas, dan mendapat ruang untuk berkembang bersama.
Perubahan cara pandang ini bukan hal yang negatif. Justru di sinilah peluang lahirnya hubungan yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Jika negara, masyarakat, dan individu sama-sama berperan, maka makna “sakinah” bisa benar-benar hidup, bukan hanya diucapkan, tapi dirasakan dalam keseharian.
Apakah “Tepuk Sakinah” akan berdampak pada peningkatan angka pernikahan di Indonesia? Mungkin. Tapi yang lebih penting adalah pesan di baliknya: bahwa cinta dan pernikahan tetap punya tempat istimewa, asal dijalani dengan kesadaran dan kesiapan yang matang. Generasi muda bukan kehilangan arah; mereka hanya sedang menata ulang cara mencintai dan membangun hidup dengan lebih sejahtera.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.