Sritex Pailit, Kejagung Usut Dugaan Kredit Bermasalah dari Perbankan

1 week ago 17
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar berbicara dengan awak media di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (29/4/2025). ANTARA/HO-Kejaksaan Agung RI. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar berbicara dengan awak media di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (29/4/2025). ANTARA/HO-Kejaksaan Agung RI.

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) saat ini sedang melakukan penyidikan awal terhadap dugaan korupsi terkait pemberian kredit bank kepada perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman (Sritex).

“Masih penyidikan umum, dalam hal pemberian kredit bank kepada Sritex,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar, Kamis (1/5), kepada ANTARA.

Belum dijelaskan sejak kapan penyidikan tersebut dimulai, namun kasus ini diduga berkaitan erat dengan kondisi keuangan Sritex yang memburuk hingga akhirnya dinyatakan pailit pada Oktober 2024.

PT Sritex resmi menghentikan seluruh operasionalnya per 1 Maret 2025, setelah proses kepailitan berjalan. Berdasarkan catatan kurator, total utang perusahaan mencapai Rp29,8 triliun kepada berbagai kreditur.

Daftar kreditur terdiri dari:

  • 94 kreditur konkuren,
  • 349 kreditur preferen,
  • 22 kreditur separatis.

Kreditur preferen termasuk instansi pemerintah seperti Kantor Pajak Pratama Sukoharjo, Bea Cukai Surakarta dan Semarang, serta Ditjen Bea Cukai Wilayah Jateng-DIY. Sementara kreditur separatis dan konkuren mayoritas berasal dari kalangan bank dan perusahaan swasta.

Dalam rapat kreditur, disepakati tidak akan dilakukan keberlanjutan usaha (going concern) dan seluruh aset perusahaan akan dibereskan guna membayar utang.

Dampak pailit juga berdampak pada ribuan pekerja. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat sebanyak 11.025 karyawan terkena PHK secara bertahap sejak Agustus 2024 hingga Februari 2025.

Penyidikan Kejagung menjadi perhatian publik karena menyangkut kemungkinan penyalahgunaan pemberian kredit besar-besaran dari perbankan yang turut berkontribusi pada krisis korporasi. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Relationship |