Silent Treatment dan Silent Space: Beda Tipis antara Menenangkan Diri atau Mengabaikan Pasangan

8 hours ago 3

Fimela.com, Jakarta Dinamika hubungan romantis selalu ada saja yang diperdebatkan. Termasuk dalam urusan pilihan kita untuk diam. Dalam hubungan romantis, diam bisa menjadi senjata sekaligus penyelamat. Kadang kamu atau pasangan memilih untuk diam karena butuh waktu menenangkan diri, tapi di sisi lain, diam juga bisa menjadi cara untuk menjauh, bahkan menghukum. 

Sekilas keduanya terlihat sama tidak bicara, tidak merespons namun secara psikologis, “silent treatment” dan “silent space” punya dampak yang sangat berbeda terhadap hubungan. Menurut Dr. John Gottman, pakar hubungan dari The Gottman Institute, ketika seseorang merasa emosinya meluap-luap, otak bisa masuk dalam kondisi yang disebut flooding. Dalam kondisi ini, tubuh mengalami stres tinggi dan sulit berpikir jernih. 

Sahabat Fimela, itulah mengapa mengambil jeda atau memberi “space” adalah bentuk self-regulation yang sehat.

Silent Space saat Diam Menjadi Cara Menenangkan Diri

“Silent space” berarti memberi ruang untuk diri sendiri dan pasangan agar bisa kembali tenang. Ini bukan tentang menjauh karena marah, melainkan menyadari bahwa percakapan di tengah emosi tinggi bisa berujung pada kata-kata yang disesali. Dalam praktiknya, silent space dilakukan dengan kesadaran dan komunikasi yang jelas. Misalnya, kamu berkata, “Aku butuh waktu sebentar untuk menenangkan diri. Kita bahas lagi nanti, ya.”

Sikap ini menunjukkan kedewasaan emosional. Kamu tahu kapan harus berhenti berbicara agar tidak menyakiti, sekaligus memberi kesempatan bagi diri dan pasangan untuk berpikir lebih jernih. Dalam jangka panjang, kebiasaan memberi ruang seperti ini justru memperkuat hubungan, karena mengajarkan pentingnya menghormati batas pribadi dan mengelola emosi dengan sehat.

Silent Treatment saat Diam Menjadi Bentuk Manipulasi

Berbeda dengan silent space yang berlandaskan kesadaran diri, silent treatment muncul dari dorongan untuk menghukum atau mengontrol. Ini adalah bentuk komunikasi pasif-agresif, di mana seseorang memilih diam bukan karena ingin memperbaiki keadaan, tapi untuk membuat pasangan merasa bersalah, bingung, atau tidak berharga.

Menurut Dr. Kipling Williams, profesor psikologi sosial di Purdue University yang meneliti fenomena ostracism (pengabaian sosial), pengabaian seperti silent treatment bisa memicu rasa sakit sosial yang serupa dengan rasa sakit fisik. Penelitiannya menunjukkan bahwa area anterior cingulate cortex di otak—bagian yang merespons rasa sakit fisik—juga aktif ketika seseorang diabaikan. Jadi, ketika pasangan memilih diam dan menjauh tanpa penjelasan, otakmu secara harfiah merasakan sakit.

Bentuk diam seperti ini perlahan-lahan bisa mengikis rasa aman dalam hubungan. Kamu mungkin mulai mempertanyakan apa salahmu, merasa cemas, atau bahkan menyalahkan diri sendiri. Lama-kelamaan, hubungan yang dipenuhi silent treatment kehilangan keintiman dan kepercayaan, karena komunikasi—fondasi utama dalam hubungan—sudah tidak berjalan sehat.

Mengapa Silent Treatment Begitu Merusak

Dalam jangka panjang, silent treatment bisa menciptakan pola hubungan yang tidak seimbang. Satu pihak menjadi pihak yang “mengontrol” dengan diam, sementara pihak lainnya terus berusaha mencari validasi dan penjelasan. Pola ini menciptakan ketergantungan emosional yang tidak sehat, di mana salah satu pihak selalu merasa bersalah dan takut ditinggalkan.

Data menunjukkan bahwa 8 dari 10 pasangan yang sering menggunakan silent treatment dalam menyelesaikan masalah akhirnya berpisah. Alasannya sederhana: komunikasi yang sehat tidak bisa tumbuh dalam diam yang menyakitkan.

Silent treatment juga sering kali meninggalkan luka batin jangka panjang. Orang yang kerap menjadi korban diam akan membawa trauma komunikasi ini ke hubungan berikutnya—menjadi lebih sensitif terhadap tanda-tanda penolakan, atau justru memilih untuk “menutup diri” agar tidak terluka lagi.

Membedakan Silent Treatment dan Silent Space

Batas antara keduanya memang tipis, tapi bisa kamu kenali dari niat dan cara komunikasinya.

  • Jika kamu atau pasangan mengambil jeda dengan mengomunikasikan alasannya dan memberi kepastian waktu untuk kembali bicara, itu silent space.
  • Jika diam digunakan untuk membuat pasangan merasa bersalah, atau dilakukan tanpa kejelasan, itu silent treatment.

Kunci perbedaannya ada pada intention—apakah diam itu untuk menenangkan diri, atau untuk menyakiti?

Belajar Mengelola Diam dalam Hubungan

Kamu bisa mulai dengan mengenali sinyal ketika tubuh dan emosi mulai lelah. Saat perdebatan memanas, katakan dengan tenang bahwa kamu butuh waktu. Misalnya, “Aku butuh istirahat sebentar. Aku janji kita lanjut bicara nanti malam.” Kalimat sederhana seperti itu bisa mencegah konflik makin besar dan membantu pasangan memahami bahwa diammu bukan bentuk penolakan.

Sebaliknya, jika kamu berada di posisi yang diabaikan, penting untuk menyadari bahwa kamu tidak harus terus mengejar penjelasan dari orang yang memilih diam. Kamu berhak atas komunikasi yang sehat dan saling menghargai.

Dalam hubungan, diam bisa menjadi momen refleksi atau justru tanda bahaya. Silent space memberi kesempatan untuk menenangkan diri dan menjaga keharmonisan, sementara silent treatment merusak kepercayaan dan membuat luka emosional yang sulit pulih.

Cinta yang dewasa bukan tentang siapa yang lebih sering diam atau siapa yang lebih keras bicara, tapi tentang bagaimana kamu dan pasangan bisa saling memahami di antara keheningan itu. Karena kadang, cara terbaik mencintai adalah dengan tahu kapan harus berbicara—dan kapan harus diam dengan niat yang benar.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Ayu Puji Lestari
Read Entire Article
Relationship |