Review Buku Novel Satine karya Ika Natassa

6 days ago 17

Judul: Satine

Penulis: Ika Natassa

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

“I just need a proper date.” “Saya cuma butuh teman bicara.”

Ada yang bilang hidup yang tertata sempurna ibarat makanan yang dikemas rapi. Semuanya tersusun pada tempatnya, cantik. Lalu, tanpa disangka terjadilah satu peristiwa, kemasan itu tersenggol, dan isinya berserakan di lantai. Hidup yang selama ini dikenal Satine runtuh saat ia menyadari dirinya tidak lebih dari sekadar perempuan kesepian.

Dalam kenekatan seseorang yang selalu bisa menyelesaikan apa pun dalam hidupnya, Satine menemukan solusi yang mempertemukannya dengan lelaki asing, Ash. Hubungan yang mereka mulai dengan keterikatan kontrak di atas kertas dan harus tunduk pada aturan, ternyata tunduk pada gejolak perasaan mereka sendiri. Lalu terjadilah peristiwa demi peristiwa yang menghadirkan pertanyaan: “Jika semua hal di muka bumi ini diatur oleh takdir, apakah pertemuan dan perpisahan juga harus takluk pada takdir?”

***

Jatuh cinta bukan salah satunya. Aku bukan bilang bahwa kita nggak bisa memilih untuk jatuh cinta—love is a conscious decision, always. Kita cuma nggak bisa memilih rasa yang mengikut dengan pilihan itu. Bahagia, senang, berbunga-bunga memang langsung hadir, tapi bersamanya sedih, kesal, marah, kecewa, dan patah hati ikut membuntuti, siap mengudea pada waktunya. (hlm. 16)

Mungkin gue dan dia sama-sama seterus terang ini karena terbuka ke orang asing itu kadang lebih nyaman daripada jujur ke orang yang kita kenal. Tidak ada kepentingan yang mengikat, tidak ada penghakiman. (hlm. 29)

Mencintai punya kuasa menyembunyikan yang pahit-pahit dan menampakkan hanya yang manis-manis. Dan katanya, bisa mencintai saja itu cukup karena mencintai membuat kita bisa lebih menghargai hidup. Mencintai, kata orang-orang, membuat kita menjadi orang yang lebih baik. Paling tidak ingin menjadi orang yang lebih baik. Mencoba hal baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya karena mencintai juga memunculkan berani. Mampu merasakan mencintai, tanpa harus balas dicintai, itu cukup. (hlm. 95)

Satu-satunya cara agar tidak tersakiti, katanya, adalah dengan menerima kenyataan. Bahwa yang dimau tidak selalu akan didapat. Bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha itu seringnya cuma pepatah. Bahwa yang kauanggap spesial ternyata statusnya tak lebih dari biasa. (hlm. 148)

Bertambahnya usia konon bikin orang lebih bijak, Iebih paham, lebih pintar, tapi itu tidak berlaku untuk urusan hati. Rasa jadi makin kompleks, romansa jadi rumit, memaknai cinta tidak lagi sesimpel masa-masa umur belasan dan dua puluhan. (hlm. 151)

Bahwa setelah umur segini pun, aku ternyata masih gampang dibodohi perasaan sendiri? (hlm. 230)

Menjalani hidup sesuai yang telah dipilih dan digariskan, itu cukup. Berani menjalani apa yang sudah dipilih, itu cukup. Tidak perlu jauh-jauh bicara soal bahagia karena mnungkin memang bahagia seutuhnya itu bukan milik semua orang. Tidak semua yang dimau akan didapat karena begitulah hidup. Yang dicari hilang. Yang ditunggu pergi. Yang kaurasa selamanya nyatanya hanya sementara. Dan bahagia yang dipunya semua orang kecuali kau? Mungkin memang bukan jatahmu. (hlm. 242)

Kita udah di umur yang sadar betul setiap orang punya masalahnya masing-masing, jadi banyak yang kita pendam sendiri. Umur-umur segini nih ya, kita dituntut untuk terlihat tegar dan kuat padahal di dalam sini berantakan. (hlm. 303)

***

Satine dan Ash memulai hubungan karena kebutuhan. Mereka sepakat menjalani sebuah relasi yang bersyarat: tidak mencampur aduk emosi, tidak melibatkan masa lalu, dan tidak menuntut masa depan. Kisah mereka bukan romansa klasik yang mengandalkan chemistry belaka, melainkan relasi fungsional yang lahir dari kesadaran akan kebutuhan yang bisa dipenuhi melalui suatu transaksi.

Sampai kemudian waktu menguji batas-batas yang mereka tetapkan sendiri. Kedekatan yang awalnya mekanis mulai bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam. Rutinitas bersama perlahan membentuk kenyamanan. Mereka saling membaca jeda satu sama lain, dan dari jeda itulah lahir perasaan baru yang tak bisa dijelaskan lewat kontrak apa pun.

Keduanya mulai menyadari bahwa hubungan manusia tidak pernah sesederhana formula. Saat Ash mulai menyukai cara Satine membuatkan sandwich dengan cara berbeda, dan Satine mulai tertarik dengan kedalaman pemahaman Ash tentang seni dan lukisan, ada perasaan berbeda yang menyusup perlahan. Ketika Satine mulai membuka diri untuk mengajak Ash menemaninya menonton bioskop, ada ruang baru yang hadir di antara mereka. Saat Ash dengan sabar dan detail menjelaskan arti dan makna lukisan yang mereka lihat bersama di galeri, ada perasaan baru yang tumbuh.

Satine dan Ash pun dihadapkan pada hal-hal baru yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Di tengah kesibukan mereka berdua yang bergelut dengan pekerjaan masing-masing, mereka sebenarnya sama-sama merindukan kehadiran seseorang—seseorang yang bisa diajak berbagi cerita kehidupan dan bisa saling berbagi kepingan hidup masing-masing.

Walaupun Satine dan Ash tampak sudah sangat sukses di karier masing-masing, bukan berarti kehidupan mereka serba mudah dan sempurna. Satine punya hubungan yang cukup rumit dengan ibunya sendiri. Ash memiliki masa kecil yang membuatnya cukup traumatis bila mengingat sosok ibu dan ayahnya sendiri. Semua itu masih melekat dalam cara mereka menjalani hidup di usia yang sudah kepala tiga.

Salah satu kekuatan utama novel ini adalah kemampuannya menyentuh sisi reflektif pembaca. Satine tidak hanya berkisah tentang dua tokoh, tetapi tentang kita semua—orang-orang yang sedang mencoba menemukan makna dalam relasi, kesendirian, dan keberadaan itu sendiri.

Melalui dialog yang kontemplatif dan tak jarang melankolis, kita pun akan diajak masuk ke dalam kepala Satine dan Ash. Banyak kutipan yang menggugah perenungan tentang usia dewasa yang ternyata tidak selalu memberi kepastian, melainkan justru membuka lebih banyak pertanyaan.

Tema tentang eksistensi manusia disisipkan halus tetapi cukup dalam. Kerap kali kita merasa seolah membaca surat dari diri sendiri yang belum sempat dikirim.

Yang membuat novel ini menantang adalah strukturnya. Cerita maju-mundur dengan lompatan waktu yang mungkin agak sedikit membingungkan membuat kita perlu lebih berkonsentrasi dan jeli dalam mengikuti alur ceritanya.

Lompatan waktu menjadi bagian dari narasi di dalam novel ini. Semacam ada penggambaran bagaimana memori dan perasaan bekerja: tidak runtut, kadang samar, tetapi menyisakan jejak yang dalam.

Menariknya, Novel Satine disajikan dalam dua sudut pandang: Satine dan Ash. Kita tidak hanya menyaksikan kisah ini dari satu sisi, tetapi dari dua kepala yang berbeda—dengan ritme pikiran dan perasaan yang tak sama. Kita sebagai pembaca seperti berperan menjadi pengamat sekaligus penengah. Kita tahu apa yang tidak dikatakan oleh Satine secara terbuka, dan kita tahu apa yang Ash sembunyikan dari setiap sikapnya.

Dua POV ini memberi ruang bagi kita untuk memahami bahwa dalam setiap hubungan, selalu ada ruang kosong yang tak bisa dijangkau sepenuhnya. Bahkan dalam hubungan yang paling jujur, selalu ada batas tak terlihat antara dua manusia.

Novel Satine memberi pengalaman membaca yang berkesan. Novel ini mengajak kita untuk mengambil jeda duduk diam, membaca perlahan, dan menengok ke dalam. Karena kisah Satine dan Ash, sebetulnya adalah kisah banyak orang dewasa saat ini—yang terlihat kuat, tapi diam-diam menyimpan luka.

Konflik terbesar bukan pada orang ketiga atau peristiwa dramatis—walaupun ada karakter menyebalkan sampai mengubah kehidupan Ash di kemudian hari, melainkan pada kebingungan, asumsi, dan rasa takut untuk membuka diri. Inilah yang membuat Satine terasa jujur. Dalam hidup, ancaman bukan selalu berasal dari luar, tapi bisa saja dari ekspektasi dan ketakutan sendiri.

Dan ketika akhirnya halaman terakhir ditutup, ada semacam jeda yang menyambut kita. Seolah-olah Satine dan Ash masih berbicara di kepala kita. Mereka mungkin bukan pasangan ideal, tapi justru karena itu mereka terasa nyata. Sahabat Fimela, mungkin itulah keindahan tersembunyi dari novel ini: kisah di dalamnya membantu kita mengenali apa arti kehadiran seseorang di tengah kesibukan dan kerumitan hidup yang berjalan terlalu cepat.

Novel Satine menghadirkan perspektif menarik tentang relasi, kesepian, bahkan kebahagiaan. Dengan tema reflektif yang kuat, novel ini menyentuh emosi sekaligus mengajak berpikir ulang tentang makna hubungan yang tulus.

Untuk Sahabat Fimela yang menyukai cerita mendalam dan kontemplatif, Satine bisa jadi rekomendasi bacaan yang bagus. Tema-tema seperti cinta, kesepian, dan keberanian untuk membuka diri terasa begitu kental di novel ini. Membacanya seperti melihat bayangan sendiri lewat cermin retak—terpecah, tapi justru dari retakan itulah kita belajar memahami makna utuh.

Read Entire Article
Relationship |