
Oleh: Muhammad Saleh
(Dosen IAIN Parepare)
Tanggal 22 Oktober 1945 tercatat sebagai momen bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Di hari itu, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad, yang menyerukan kewajiban setiap Muslim untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan. Seruan itu membakar semangat juang rakyat dan santri di berbagai daerah hingga puncaknya meletus Peristiwa 10 November di Surabaya. Sejak saat itu, santri bukan hanya penjaga akidah, tetapi juga pejuang kemerdekaan pelindung bangsa yang mengikat iman dengan nasionalisme.
Karena itulah, Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan refleksi atas nilai ketulusan, pengabdian, dan cinta tanah air. Namun tahun 2025 ini, momentum sakral tersebut justru terusik oleh tayangan di Trans7 yang dinilai melecehkan simbol dan identitas santri. Tayangan yang seharusnya menghibur justru menyinggung nurani umat, seolah nilai-nilai pesantren hanya layak dijadikan bahan candaan.
Kasus Trans7 ini membuka mata kita akan bahaya ketika media melupakan fungsi etiknya. Dalam dunia yang mengejar rating dan viralitas, batas antara hiburan dan penghinaan menjadi kabur. Padahal, di tengah derasnya arus digital, media seharusnya menjadi jembatan nilai, bukan jurang kesalahpahaman. Santri dan pesantren selama ini telah menjadi benteng moral bangsa ironis bila justru dilecehkan oleh lembaga yang memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik.
Tema Hari Santri 2025, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia,” menegaskan bahwa santri bukan hanya penjaga tradisi, tetapi penggerak peradaban. Mereka belajar di pesantren bukan untuk menjauh dari zaman, melainkan untuk menuntun zaman agar tetap beradab. Ketika media gagal memahami peran luhur ini, maka masyarakat kehilangan kesempatan melihat santri sebagai agen perdamaian, intelektual yang rendah hati, dan generasi yang menjembatani agama dengan kemajuan.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: