Ketika Lontaraq Bernyanyi: Cinta, Rindu, dan Nilai Hidup Bugis-Makassar

8 hours ago 4

Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)

Naskah-naskah lontaraq di Sulawesi Selatan tidak hanya berisi catatan sejarah atau hukum adat, tetapi juga karya sastra lisan yang disebut elong—nyanyian tradisional Bugis-Makassar yang menggambarkan perasaan, nasihat, dan pandangan hidup masyarakat pada masa lampau. Di balik bait-baitnya yang sederhana, tersimpan nilai budaya yang dalam dan tetap relevan hingga kini.

Dalam salah satu elong yang bertemakan asmara, rindu diungkapkan dengan lembut melalui kalimat “Tenna rata ripabbatiq wijanna ripallengngeq paccodowangédé…” yang berarti tak ada yang menandingi keindahan kenangan antara dua hati yang saling menunggu. Nyanyian ini melukiskan kesetiaan dan keteguhan hati, menunjukkan bahwa cinta dalam budaya Bugis bukan sekadar emosi, tetapi wujud ketulusan dan tanggung jawab.

Ada pula elong yang berisi ungkapan perpisahan, dengan nada haru namun penuh keikhlasan. “Engka manguju melleq pangka ati gowari ajaq muaggangka…” menggambarkan perasaan melepas seseorang yang disayangi dengan doa dan restu. Dalam pandangan masyarakat Bugis-Makassar, perpisahan bukan akhir, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang selalu diiringi harapan baik.

Beberapa elong lainnya berisi nasihat kehidupan. Salah satu bait menyebut, “Ininnawa matinulu malomo nalétéi pammasé Déwata…”—pesan agar manusia bekerja dengan tekun dan jujur untuk mendapatkan keberkahan. Nilai ini sejalan dengan falsafah Bugis reso temmangingngi namalomo nalétéi pammasé Déwata, yang berarti usaha tanpa henti akan membawa rahmat Tuhan. Dalam nyanyian, nasihat seperti ini disampaikan dengan bahasa lembut agar mudah diterima dan diingat.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Relationship |