
Oleh: Ilham Arief Sirajuddin*
Pengantar
Sebagai mantan Wali Kota Makassar, saya pernah merasakan bagaimana posisi sebagai pejabat publik. Posisi yang boleh dibilang, menjadikan kritik sebagai sarapan paginya. Saya sebut sarapan pagi, karena kritik yang paling tajam dan seringkali membuat kuping merah, saat membaca koran, pagi-pagi. Saat sama kita sering menikmati sarapan—yang gara-gara kritik, teh manis pun jadi hambar. Bahkan, kadangkala sulit ditelan.
Pemimpin—atau pejabat publik saat ini—tak hanya berhadapan dengan kritik di koran. Tapi media online dan media sosial. Kanal atau platform yang setiap detik bisa melakukan update. Karena itu, badai kritiknya bukan hanya datang pada pagi hari. Tapi setiap saat. Setiap detik. Kritik bisa datang tanpa diduga.
Ironisnya lagi, jika di koran, para pengeritik sangat jelas identitasnya. Mereka muncul setelah melalui verifikasi jurnalis. Bahkan, bisa jadi kita tahu rumahnya. Mungkin juga nomor teleponnya kita simpan. Malah bisa jadi, setiap hari kita berinteraksi. Jadi dengan mudah juga kita berkomunikasi, diskusi dan klarifikasi. Tapi di media social beda. Para pengeritik tidak kita kenal. Bahkan, kadangkala identitasnya tidak jelas, tapi kritiknya pedas bukan main.
Saat jadi Wali Kota Makassar, saya merasakan beberapa momentum yang penuh kritik. Bahkan, setiap hari, saya “diblender” di media massa. Salah satunya; Lapangan Karebosi. Salah duanya; reklamasi pantai losari yang saat ini, dua-duanya bisa dirasakan masyarakat.
Negatif vs Negatif
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: